Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Gereja Katolik Di Indonesia. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Gereja Katolik Di Indonesia. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 Mei 2016

TAHUKAH ANDA? seorang Romo Katolik bernama " Odorico da Pordenone" dari Biara Fransiskan pernah datang ke Majapahit.

- 1 komentar
Ini adalah fakta yang sepertinya perlu anda ketahui, bahwa dalam catatan sejarah, seorang Pastor Katolik telah berkunjung ke Indonesia di era Majapahit, jauh sebelum penjajahan Jepang, Belanda, Portugis atau bangsa Eropa lainnya. Bahkan jauh sebelum Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

LATAR BELAKANG
Syahdan, setelah pemerintahan Raden Wijaya, tampuk pemerintahan jatuh kepada anaknya sebagai raja kedua, yakni Prabu Jayanagara. Menurut kitab Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapanca, di usia yang sangat muda ( sekitar 15 tahun) raja bernama kecil “Kala Gemet” ini naik tahta dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Karena itu untuk menjalankan pemerintahan, Jayanagara diwakili oleh Lembu Sora sebagai Patih Daha.

Masa pemerintahan Jayanagara adalah masa paling kelam dimana pemberontakan terjadi secara terus menerus. Sejumlah teman seperjuangan ayahnya yang tergabung dalam Dharma Putra, terpaksa melakukan pemberontakan karena tidak puas dengan pemerintahan Jayanagara dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan ketidak pantasan Jayanagara menjadi Raja Majapahit karena factor keturunan ( Jayanagara adalah anak Raden Wijaya dengan Dara Petak ( Istri lain dari Sumatera, di luar 4 istri anak prabu Kertanegara yang telah dikawini terlebih dahulu), alasan kebijakan Jayanagara yang tidak peduli dengan rakyat, alasan kepribadian Jayanagara yang gemar berpesta, mabuk-mabukkan, semena-mena mengambil anak gadis atau istri orang, serta berbagai alasan lain yang tidak mungkin diceritakan satu persatu di sini.

Pemberontakan ini adalah juga pemberontakan susulan atas kebijakan Majapahit sejak jaman Raden Wijaya. Para pemberontak itu diantaranya Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa. Khusus pemberontakan Ra Kuti, pemberontakan ini adalah pemberontakan yang paling berhasil karena mampu menguasai istana dan membuat Jayanagara mengungsi di sebuah dusun bernama Badender. Pengungsian Jayanagara tersebut berada dalam kawalan pasukan khusus Bhayangkara dibawah pimpinan Dipa ( kelak bernama Gajah Mada ).

Lewat inisiatifnya sendiri, Dipa dan pasukan kecilnya kemudian mengembalikan pemerintahan ke tangan Jayanagara dengan bantuan rakyat yang masih setia. Pemberontakan Ra Kuti akhirnya berhasil di padamkan dan Jayanagara kembali ke tahta.

MASA KEDATANGAN
Di tahun 1321, seorang Romo Katolik dari Biara Fransiskan datang ke Majapahit. Sejak tahun 1316, Romo yang dikenal dengan nama Odorico da Pordenone telah berlayar mulai dari Venesia, kemudian melalui Konstantinopel, Jazirah Turki dan Iran menuju Hormuz di Teluk Persia. Dari Hormuz perjalanan dilanjutkan dengan berlayar, dan berturut-turut menyinggahi berbagai pelabuhan di Mumbai, Malabar, Srilangka, Madras, Sumatera dan Jawa. 

Kedatangan ke Jawa sesungguhnya hanya persinggahan sementara karena tujuan utamanya adalah menjelajahi kawasan yang oleh kalangan Eropa disebut Timur Jauh. Meski hanya persinggahan, namun saat di Jawa, romo yang bernama asli Odorico Mattiuzzi ini telah banyak berkarya baik secara religi maupun secara kesusasteraan . Salah satunya menghasilkan narasi yang kemudian digunakan sebagai rujukan untuk menggambarkan keadaan Majapahit. Isi catatan tersebut salah satunya demikian :

".....raja memiliki bawahan tujuh raja bermahkota dan pulaunya berpenduduk banyak,merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada. Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan karena besar, tangga dan ruangannya berlapis emas dan perak,bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan agung dari cina beberapa kali berperang melawan raja ini, akan tetapi selalu gagal,dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya....."

Terkait catatan ini, setidaknya ada dua analisa tentang situasi Odorico kala itu.

Analisa pertama :
Odorico selain datang langsung ke area Istana dan menjelajah daerah kekuasaan Majapahit, dirinya juga telah melakukan penelusuran sejarah dari sejumlah sumber. Dari sumber itu pulalah Odorico kemudian mengetahui bahwa Majapahit sering kali diserang oleh pasukan Kubilai Khan sebagai bentuk balas dendam terkait kejadian beberapa tahun lalu. Pada tahun 1293, Pasukan Mongol memang pernah di peralat oleh Raden Wijaya untuk menghantam pasukan Jayakatwang, namun saat Jayakatwang kalah, mereka justru balik dihancurkan. Sisa yang berhasil melarikan diri melaporkan pada Kaisar Kubilai Khan.


Analisa Kedua :
Tak lama setelah Odorico tiba, terjadi penyerangan oleh pasukan Mongol sehingga dirinya terjebak dalam situasi perang. Saat itulah dirinya mengetahui hal ihwal penyebab pertempuran. Usai perang, Pastor asal Italia ini kemudian berkesempatan mengunjungi istana dan tempat-tempat lain di wilayah Majapahit.

Persinggahan Odorico di Majapahit kurang menekankan pada unsur pengabaran Injil, ini karena dirinya di perintah Kepausan memang bukan untuk itu, melainkan dalam rangka ilmu pengetahuan, yakni membuka cakrawala gereja Katolik terhadap peradaban bangsa lain. Namun demikian, sangat mungkin Odorico mengalami dialog religiusitas antara Katolik dengan Hindu - Budha, agama yang dianut hampir oleh seluruh penduduk pulau Jawa, mulai dari pesisir hingga pusat kota.

MENINGGALKAN MAJAPAHIT
Seusai menyinggahi Majapahit, Romo Odorico kemudian melanjutkan pelayarannya ke Burneo, Champa, dan akhirnya Guangzhou, China.
Tiga tahun berada di China, di bawah pemerintahan Dinasti Yuan, Odorico kemudian kembali pulang karena masa tugas perjalanannya telah habis. Sayangnya, di tahun 1331, saat hendak melaporkan catatan-catatan perjalanannya kepada Paus di Avignon, beliau jatuh sakit dan wafat di usia 66 tahun.

CATATAN LAIN
Yang menarik, selain catatan tentang pulau Jawa, adalah tulisan yang mendeskripsikan bagaimana praktek-praktek kanibalisme masih terjadi di sebuah pulau yang bisa diindikasikan sebagai pulau Kalimantan ( Borneo). Juga tentang makanan khas yang disebut sagu di Nusantara.

Bagi Gereja Katolik, misi perjalanan Odorico memang menghasilkan banyak catatan dan pengetahuan baru tentang peradaban Timur Jauh (kemudian disebut Asia). Itu tidak lepas dari ketaatannya untuk mengikuti perintah misi, yakni : terus membuat catatan perjalanan dan tidak boleh pulang sejak mulai diberangkatkan di tahun 1316 hingga tahun 1330.

Pengutusan Odorico sendiri sesungguhnya merupakan pembuktian langsung atas naskah berjudul Sir John Mandeville, sebuah naskah yang ditulis oleh seseorang yang mengaku bernama sama dengan judul. Namun berdasarkan catatan-catatan kesaksian langsung dari Ordorico, akhirnya terbukti, bahwa apa yang terdapat dalam Sir John Mandeville sangatlah kacau dan cenderung fiksi. Padahal buku itu sendiri pernah menjadi inspirasi Christopher Columbus maupun Marco Polo dalam melakukan perjalanan.

Pada periode selanjutnya, berbagai catatan perjalanan Ordorico telah disalin dalam berbagai terjemahan sebagai bahan kajian pengetahuan, referensi perjalanan maupun misi Katolik di kawasan Timur Jauh. 

Beberapa biarawan Katolik kemudian juga mengikuti jejaknya di Asia dalam misi religius, diantaranya yang cukup terkenal adalah Fransiscus Xaverius (menerima puluhan ribu penduduk Maluku, Malaka, Kalimantan dan Sulawesi menjadi Katolik, sehingga menjadi tonggak awal berdirinya gereja katolik di Nusantara) dan Dionysius a Natitivitate & Redemptus a Cruce ( Martir – disiksa dan dibunuh atas perintah Sultan Aceh Iskandar Thani karena hasutan berbau SARA dari penjajah Belanda ).

Oleh karena banyaknya mukjizat yang terjadi pada makam Odorico da Pordenone di Udine, lalu penelusuran religiusitas dan bukti-bukti ketaatan terhadap gereja Katolik, maka pada tahun 1755 Paus Benediktus XIV akhirnya memberikan penghormatan kekudusan lewat beatifikasi. Sebuah patung Odoric juga didirikan di Pordenone pada tahun 1881 untuk mengenang biarawan yang gemar berpuasa namun tetap giat bekerja ini.

sumber : disini  
               disini
[Continue reading...]

Rabu, 13 April 2016

Yogyakarta Menjadi Tuan Rumah Asian Youth Day 2017

- 0 komentar


Semarang - Yogyakarta dipastikan menjadi tuan rumah Asian Youth Day yang digelar pada 30 Juli-6 Agustus 2017. Kepastian pertemuan kaum muda Katolik se-Asia itu disampaikan Ketua Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia Romo Pius Riana Prapdi saat jumpa pers di Wisma Uskup Kompleks Katedral, Semarang, Selasa, 15 Maret 2016.

“Acara itu akan dihadiri 1.500 orang dari perwakilan 29 negara Asia,” kata Pius Riana Prapdi.


Selain mempertemukan kaum muda lintas negara di Asia, acara itu juga diikuti 1.000 kaum muda Katolik Indonesia dari berbagai pulau dan keuskupan. “Kami berjumpa suka cita memperdalam imam,” kata Pius Riana Prapdi.


Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta membawa tema suka-cita dalam kebhinnekaan. Acara yang diikuti para kaum muda penggiat gereja Katolik itu akan memamerkan hidup dalam kebhinnekaan, agama, budaya, dan sosial.


Acara itu sebagai ajang perjumpaan kaum muda Katolik untuk meneguhkan dan mengimplementasikan kebhinnekaan tantangan hidup yang beragam. Menurut Pius, pertemuan itu secara khusus akan belajar memahami mempraktekkan hidup dalam kebhinnekaan, agama budaya, dan sosial di Indonesia.


Kaum muda Katolik lintas negara di Asia itu akan berefleksi dan menemukan nilai iman serta budaya. Kegiatan yang dilakukan juga menjalin dialog berkomunikasi dengan keanekaragaman. “Dengan pertukaran itu orang muda Katolik mampu memaknai hidup dan perubahan semakin cepat,” katanya.


Asian Youth Day 2017 yang digelar setiap tiga tahunnya ini merupakan yang ketujuh. Acara sebelumnya dilakukan di Korea Selatan pada 2014. Setelah diselenggarakan di Filipina, Hong Kong, India, Taiwan, dan Thailand.


Ketua panitia pengarah Asian Youth Day 2017, Romo Yohanes Dwi Harsanto, agenda pertemuan kaum muda Katolik tingkat Asia itu sengaja membedah moralitas hidup keberagamaan sebagai isu utama.


“Dalam hal ini peserta mempelajari Pancasila sebagai rule of live yang dipamerkan di forum itu,” kata Yohanes Dwi Harsanto.

Menurut dia, perbedaan keyakinan dalam satu keluarga di Indonesia akan menjadi studi kaum muda Katolik lintas negara Asia. Ia menjelaskan, perbedaan yang ada itu justru satu kekuatan untuk membangun bangsa. “Karena kaum muda menjadi penentu bagaimana negara, gereja, dan masyarakat maju,” katanya. 


sumber: disini
[Continue reading...]

Selasa, 06 September 2016

Bapak Uskup Agung Medan, Ampuni Pelaku Penyerangan Romo Albert Pandiangan OFMCap

- 0 komentar


Uskup Medan Mgr. Anicetus B. Sinaga dengan kedua orangtua pelaku penyerangan terhadap Pastor Albertus Pandingan di Gereja St. Joseph di Medan 28 Agustus 2016 (foto doc Internet)

GEREJA Katolik yang bermurah hati dan bersedia memberi ampun. Inilah yang dilakukan oleh Bapak Uskup Keuskupan Medan Mgr. Anicetus B. Sinaga OFMCap bersama Pastor Albertus Pandiangan OFMCap kepada keluarga Hasugian di Medan. 

Tindakan kasih berupa memberi ampunan dan tindakan menghayati semangat Tahun Kerahiman Ilahi sebagaimana diajarkan oleh Paus Fransiskus melalui Misericordiae Vultus ini terjadi di Wisma Keuskupan Agung Medan (KAM), di Ibukota Provinsi Sumatra Utara, pada hari Senin tanggal 5 September 2016.

Bapak Uskup Agung Keuskupan Agung Medan Mgr. Anicetus B. Sinaga dengan suka hati menerima kedatangan keluarga Hasugian untuk silahturami. 

Dalam pertemuan itu, Pastor Albertus Pandingan OFMCap berhalangan hadir.

Mgr. Anicetus B. Sinaga OFMCap dan Pastor Albertus Pandiangan OFMCap adalah imam-imam Fransiskan Kapusin.

“Bapak Makmur Hasugian bersama Ibu Boru Purba, kedua orangtua pelaku penyerangan terhadap Pastor Albertus Pandiangan di Gereja St. Joseph Medan, datang ke Wisma Keuskupan Agung Medan pada hari Senin kemarin. 

Mereka datang atas inisiatif sendiri dan kami senang menerima mereka,” kata Uskup Agung Keuskupan Agung Medan Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM dalam rangkaan kalimat pesan pendek kepada Redaksi Sesawi.Net, Selasa siang tanggal 6 September 2016.

Minta maaf dan diberi ampunan

“Mereka datang untuk maksud minta maaf kepada Uskup dan Pastor Pandiangan atas insiden beberapa waktu lalu. 

Dengan tangan terbuka dan hati yang longgar, kami menerima maksud baik mereka,” tandas Mgr. Anicetus menjawab pertanyaan Sesawi.Net melalui jalur pribadi.

Kedatangan pasutri Makmur Hasugian bersama Ibu Boru Purba difasilitasi oleh serombongan pengacara dari Peradi Medan. 

Pertemuan silahturami itu sendiri dimoderatori oleh A. Dewanto Handoko SH, anggota  Pengurus Forum Masyarakat Katholik Indonesia  (FMKI) Sumut.

Kepada Sesawi.Net, Uskup Agung Keuskupan Medan menegaskan adanya empat hal yang menjadi bahan diskusi sepanjang pertemuan silahturahmi tersebut. Di antaranya adalah


1. Aspek moral: Keuskupan Agung Medan sangat mengapreasi inisiatif pribadi keluarga pelaku untuk datang memohonkan maaf atas terjadinya insiden beberapa waktu lalu.

 2. Belas kasih: Keuskupan Agung Medan dalam hal ini Uskup Agung KAM dan Pastor Albertus Pandingan OFMCap dengan semangat kristiani sepenuh hati memberi ampun dan memaafkan pelaku dan berusaha menghapus luka di batin.


Insiden penyerangan terhadap Pastor Albertus Pandiangan OFMCap terjadi di Gereja St. Joseph tak jauh dari Kampus Universitas Sumatra Utara (USU) di Jl. Dr. Mansyur, Kota Medan, hari Minggu tanggal 28 Agustus 2016 pekan silam. 

Insiden ini terjadi saat berlangsung misa mingguan di hari Minggu tersebut.

Sesaat setelah berlansung Bacaan Injil, pelaku yang masih mengenakan ransel punggung bergerak mendekati pastor dan mencoba menyerangnya dengan bersenjatakan pisau. 

Dari dalam ranselnya ditemukan kapak dan beberapa peralatan seperti kabel dan lainnya.

Pelaku berhasil dibekuk oleh umat yang tengah mengikuti misa. Polisi memastikan bahwa pelaku bertindak secara individual dan tidak terkait dengan kelompok radikal mana pun.

sumber : disini

[Continue reading...]

Kamis, 18 Februari 2016

Pemuka Gereja Katolik, melawan Revisi UU KPK

- 0 komentar

Jakarta - Pemuka Katolik Romo Johannes Hariyanto meminta agar Presiden Joko Widodo bertindak tegas melawan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terendus dalam rencana revisi undang-undang di DPR.

Johannes mengatakan ada dua hal yang membuat Presiden memiliki kapasitas untuk melawan upaya pelemahan KPK di DPR.

Langkah pertama, Presiden sebagai kepala negara memiliki otoritas yang bisa digunakan semaksimal mungkin, misalnya dengan tidak menyetujui revisi UU KPK, terangnya kepada pers di Jakarta, Kamis (4/2).

Kedua, ada pernyataan langsung dari presiden untuk melakukan moratorium terhadap segala usaha pelemahan UU KPK, sehingga hal tersebut memberikan sinyal jelas tentang sikap pemerintah.
"Kita tahu bahwa 'korban' KPK ialah orang-orang yang bisa merumuskan undang-undang. Ini akan mengerikan karena seluruh upaya pelemahan KPK hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri," lanjut Johannes.

Dia menambahkan tindakan DPR ini lebih dari sekedar kejahatan korupsi, karena bisa dikategorikan sebagai kejahatan untuk melawan bangsa.

"Akhirnya kepentingan diri sendiri lebih utama dibandingkan kepentingan bangsa dan memakai instrumen formal, yakni kewenangan sebagai anggota DPR untuk bisa melindungi dirinya sendiri," pungkasnya.

Baca juga: seorang wanita mencuri waktu Misa, di polisikan 

Sementara itu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) juga memberikan empat catatan kepada presiden terkait dengan pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Keempat catatan tersebut, yakni :

1. Upaya membatasi hak KPK melakukan penyadapan, nyata-nyata telah mengebiri kekuatan KPK yang justru selama ini banyak menjerat para koruptor dengan proses penyadapan ini. Keberatan sementara pihak bahwa penyadapan ini mengganggu privasi sangatlah absurd, mengingat perilaku pejabat publik haruslah transparan dan tak perlu ada yang harus disembunyikan. Selain itu, penyadapan dengan ijin pengadilan akan memperlambat proses investigasi serta kemungkinan terjadi kebocoran informasi;

2. Dihilangkannya wewenang KPK melakukan penuntutan juga akan melemahkan posisi tawar KPK. Keinginan sementara pihak untuk melimpahkan wewenang ini semata-mata kepada Kejaksaan merupakan amnesia sejarah, karena munculnya KPK adalah karena ketidakpercayaan publik kepada aparat dan proses-proses di Kejaksaan; dan hal ini belum pulih hingga kini;

3. Dihilangkannya wewenang KPK merekrut penyidik independen di luar Kejaksaan dan Kepolisian juga merupakan upaya pelemahan karena hal ini akan semakin menempatkan KPK dalam rentang kendali Kepolisian dan Kejaksaan, sesuatu yang justru hendak dikoreksi dengan lahirnya KPK dalam semangat Reformasi;

4. Sebaliknya, keinginan sementara pihak untuk memberikan wewenang menghentikan perkara (SP3) kepada KPK juga akan melemahkan KPK karena berpotensi membuat aparat KPK "bermain-main" dengan perkara, atau membuka potensi tawar menawar kasus.

sumber : disini 
[Continue reading...]

Rabu, 15 Juni 2016

Mongol Stres : Jangan Pindah Gereja

- 0 komentar


AKSI pelawak tunggal atau komika, Mongol Stres sanggup mengocok perut peserta konferensi Pujian dan Penyembahan Karismatik Katolik yang digelar di Apperroom Annex Building, Jakarta, Sabtu, 21/5. 

Meski materi lawakannya kerap bermain di batas sensitivitas, seperti etnisitas dan homoseksualitas, pria bernama asli Rony Immanuel ini belum pernah mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia. “Saya hanya pernah di sidang beberapa kali oleh jemaat Gereja,” celotehnya.

Salah satu lawakan Mongol yang membuat peserta terkekeh-kekeh, yaitu topik tentang berdoa. 
 
Ia meminta kepada hadirin, jika berdoa jangan membuat orang takut dengan meminta Tuhan datang ke dunia. 
 
Sebab dalam Kitab Suci, imbuh dia, Tuhan datang pada hari kiamat. “Tuhan itu bukan ‘teh celup’, yang gampang kita minta naik-turun,” ujar kelahiran Manado, 27 September 1978 ini.

Ia juga berharap, seluruh peserta jangan pindah Gereja. “Jangan karena di sana ada artis, pastor, atau pendeta terkenal, kita jadi pindah agama. Yakinlah, Tuhan juga hadir di Gereja Anda.”
 
sumber : disini
[Continue reading...]

Rabu, 14 September 2016

97 Laporan dari Komnas HAM, Soal Pembangunan Rumah Ibadah

- 0 komentar


Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya sedang menangani 97 pengaduan soal pembangunan tempat ibadah. 

Menurut dia, pengaduan terbanyak berkaitan dengan pembangunan gereja Kristen, Katolik, dan masjid.

Imdadun berujar banyaknya pengaduan menunjukkan bahwa sikap toleransi dalam beragama masih menjadi barang mewah di Indonesia. 


"Kelas kita masih sampai di situ, belum mampu merayakan perbedaan," kata Imdadun di Gereja Santa Anna, Sabtu, 10 September 2016.

Imdadun menganggap belum semua umat beragama menghargai, menghayati, dan menghormati perbedaan. 


Sehingga, kata dia, masalah rumah ibadah sering dijadikan alasan bagi kelompok mayoritas untuk menindas minoritas. 

"Kalau ada rumah ibadah yang berbeda seolah-olah ada ancaman besar, akan membuat dia masuk neraka," ujarnya.

Imdadun juga menganggap saat ini sebagian umat beragama mengalami kecenderungan hanya mau menerima yang sama dengan dirinya atau hemofilia. 


Padahal, kata dia, umat beragama memiliki kewajiban memajukan kemanusiaan. 

"Kalau tidak dikikis, kita tidak akan siap bertoleransi," katanya.
Imdadun menuturkan Indonesia  menghadapi tantangan berat dalam membangun toleransi. 


Sebab realitasnya Indonesia adalah negara yang dihuni beragam suku, agama, ras, dan golongan. 

"Intoleransi tidak boleh dibiarkan dan harus jadi perhatian," kata Imdadun.

Imdadun mengimbuhkan, setiap orang memiliki kebebasan memilih aliran kepercayaan dan mahzab kepercayaannya. 


"Memilih ada dalam iman, dalam pikiran, dan dalam hati. 

Dia tidak boleh diatur, karena tanpa diatur iman dalam hati tidak akan mengganggu orang banyak.

sumber : disini
[Continue reading...]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © . TAKUdaGEMA - Tak Kulihat dari Gereja Mana - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger